TEMPO.CO, Jakarta - Dua alumni dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Silvi Nudia Nazla dan Mohammad Fajar Ismail menggugat Undang-Undang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu mereka ajukan lantaran keduanya sempat mendaftar menjadi jaksa melalui seleksi namun tak lolos karena syarat kualifikasi pendidikan mereka hukum Islam.


Diketahui Silvi dan Fajar merupakan alumni Fakultas Syariah dan Fakultas Hukum UIN Jakarta. Permohonan uji materiil tersebut diajukan oleh mereka pada Senin, 9 Desember 2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, dengan didampingi oleh Tim Kuasa Hukum Advokasi PMII Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Ciputat.

Dua alumni UIN Jakarta itu tak terima karena kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan untuk menjadi Jaksa hanya diperuntukkan bagi lulusan sarjana pada program studi Ilmu Hukum di perguruan tinggi umum di bawah Kementerian Pendidikan.


“Permohonan ini tentu dalam rangka memperjuangkan hak-hak konstitusional para lulusan sarjana hukum bidang Islam yang dirugikan akibat norma yang diujikan, di mana syarat kualifikasi pendidikan calon Jaksa bersifat eksklusif dan diskulifikatif terhadap mereka,” kata Kuasa Hukum, Muhammad Syarif Kusumojati, dalam keterangan resmi dikutip Selasa, 10 Desember 2024.


Atas keluhan itu, mereka mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi.


Menurutnya, Ketentuan frasa ‘sarjana hukum’ dalam ketentuan norma yang diujikan secara sistematis telah mengeksklusi dan mendiskualifikasi para Pemohon sebagai sarjana hukum di bidang hukum Islam.


Ketentuan tersebut jelas tidak memberikan kepastian hukum yang adil sehingga keberlakuan norma yang dimaksud menciderai hak konstitusional para Pemohon untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945.


Pasal 9 ayat (1) huruf d UU 11/2021, menurut dia jelas mengandung persoalan konstitusional. “Akibatnya, lulusan program studi hukum yang serumpun di bidang hukum Islam, kendati telah mengenyam pendidikan hukum yang setara di bidang hukum secara aktual dieksklusikan dari ketentuan kualifikasi menjadi Jaksa,” kata dia.


Syarif menjelaskan dalam konteks penyelenggaraan pembelajaran hukum, program studi hukum di bidang Islam juga memiliki kurikulum yang relevan secara aspek hukum prosedural (formil) maupun hukum substantif (materiil) bagi penegakan hukum di Indonesia.


Menurutnya, program studi hukum Islam telah melakukan pembaharuan dan penyesuaian dengan kebutuhan hukum masyarakat melalui adopsi sistem pembelajaran hukum-hukum konvensional dalam realitas sistem hukum nasional.


“Setidaknya terdapat tiga bentuk restrukturisasi sistemik terhadap pola program studi hukum Islam yang sejauh ini sudah mengintegrasikan antara pembelajaran hukum Islam dan hukum nasional, yaitu restorasi visi-misi, restrukturisasi kurikulum pembelajaran, dan pembaharuan pola distribusi mata kuliah,” ujarnya.


Dengan fakta ini, kata Syarif, sangat memungkinkan bagi lulusan program studi hukum Islam mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi Jaksa.


Melalui judicial review, pihaknya pun meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa ‘sarjana hukum’ pada pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula bagi sarjana lain yang serumpun di bidang hukum.


“Membatalkan norma yang kami ujikan selama tidak dimaknai pula termasuk bagi sarjana yang serumpun di bidang hukum,” kata Syarif.